Sumber : http://ruangpikir.multiply.com/journal
Pemerintah melalui Departemen Pendidikan Nasional berencana akan kembali menyelenggarakan Ujian Nasional (UN) untuk tahun ajaran 2005/2006. Ujian nasional yang menelan dana sekitar Rp 280 miliar ini akan dilaksanakan pada minggu ketiga Mei 2006 untuk ujian utama dan minggu keempat untuk ujian susulan dengan penyelenggara Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) (Kompas, 19/10/2005).
Pada UN tahun ajaran ini Depdiknas akan menerapkan ketentuan baru tentang pelaksanaan UN. Ketentuan baru itu adalah UN hanya dilaksanakan satu kali (tidak ada UN ulangan) dan kriteria kelulusan nilai harus lebih dari 4,25 dengan rata-rata nilai UN secara keseluruhan lebih dari 4,50. Bagi siswa yang tidak dapat memenuhi kriteria tersebut harus mengulang kembali tahun depan. Kebijakan baru Depdiknas tentang UN ini menuai protes dari sejumlah kalangan pendidik dan para birokrat pendidikan di daerah. Tak urung Kepala Dinas Pendidikan Riau kemungkinan akan menolak kebijakan baru UN tersebut dengan alasan banyak merugikan siswa. Di Riau tahun lalu ada 22 sekolah yang kelulusannya nol persen (Kompas, 22/10/2005).
Mengapa UN menuai protes?
Ketentuan baru UN oleh Depdiknas yang dimaksudkan untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional menuai protes dari beberapa kalangan disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, kurangnya sosialisasi dari pihak Depdiknas. Kebijakan UN terkesan mendadak karena seringkali diinformasikan beberapa bulan menjelang pelaksanaan UN kepada pihak-pihak terkait. Seperti informasi UN tahun ajaran 2005/2006 baru disosialisasikan 18 Oktober 2005 (Kompas, 19/10/2005). Dengan waktu yang singkat ini sepertinya sulit bagi pihak-pihak yang terkait, terutama pihak sekolah untuk mempersiapkan diri dengan baik menghadapi UN ini. Pihak sekolah menjadi kaget dan gugup menghadapi kebijakan baru UN. Seharusnya pemerintah melalui Depdiknas mensosialisasikan UN ini secara sistematis, bertahap dan berkelanjutan. Misalnya, untuk lima tahun ke depan akan dilakukan UN dengan standar kelulusan yang berbeda. Ujian Nasional yang pertama kali diperkenalkan tahun ajaran 2002/2003 dengan istilah Ujian Akhir Nasional (UAN) seharusnya Depdiknas menetapkan standar kelulusan yang berbeda dan meningkat dari tahun ke tahun untuk lima tahun kedepan. Contohnya, untuk tahun ajaran 2002/2003 standar kelulusan 3,01; tahun ajaran 2003/2004 standar kelulusan 4,01; tahun ajaran 2004/2005 standar kelulusan 4,26; tahun ajaran 2005/2006 standar kelulusan 4,50 dan tahun ajaran 2006/2007 standar kelulusan 5,01. Dengan penetapan standar kelulusan yang sistematis, bertahap dan berkelanjutan maka pihak-pihak yang terkait di lapangan (dinas pendidikan, sekolah, guru, siswa dan orang tua) dapat mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya. Kedua, adanya disparitas yang tinggi tentang mutu sekolah baik dalam satu daerah maupun antar daerah. Realitas di lapangan menunjukan mutu sekolah berbeda-beda, baik dari aspek siswa, guru, fasilitas, sumber dana, maupun manajemen. Dengan perbedaan ini tentu kurang bijaksana kalau diterapkan standar yang sama untuk persyaratan kelulusan. Seharusnya Depdiknas menetapkan standar kelulusan yang berbeda dengan memperhatikan kondisi riil daerah dan sekolah. Ketiga, hasil UN yang hanya menguji beberapa mata pelajaran dan hanya bersifat kognitif tidak serta merta dapat dijadikan indikator tentang mutu pendidikan. Kalangan yang menolak UN berpandangan bahwa untuk mengukur standar mutu pendidikan harus dilihat struktur pendidikan secara menyeluruh termasuk non-akademis, proses dan input pendidikan. Meningkatkan standar mutu pendidikan tentu tidak sesederhana hanya dengan meningkatkan angka standar kelulusan. Secara substansial harus ditopang dengan pembenahan-pembenahan persoalan pendidikan secara mendasar dan komprehensif, seperti gedung sekolahan yang rusak berat, banyaknya siswa putus sekolah, kekurangan guru, kekurangan buku pelajaran, penyediaan komputer yang terbatas, dan laboratorium yang belum standar serta persoalan pendidikan lainmya. Keempat, hasil UN selama ini tidak ada tindak lanjutnya. Para praktisi pendidikan, terutama guru selama ini kurang merasakan adanya manfaat nyata dari UN, terutama dalam hal peningkatan kualitas mengajar. Ujian Nasional lebih sekedar kegiatan rutin tahunan. Seharusnya pasca UN dilakukan pelatihan intensif terhadap guru bidang studi yang siswanya banyak yang gagal dalam UN. Kelima, UN (di SMA/SMK) kurang mempunyai relevansi dengan seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya. Siswa SMA yang dinyatakan lulus dengan nilai UN yang tinggi tetap harus ikut seleksi untuk masuk ke Perguruan Tinggi. Sepertinya tidak ada koordinasi antara Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah dengan Pendidikan Tinggi. Pihak Perguruan Tinggi sepertinya "tidak percaya" dengan hasil UN yang diselenggarakan manajemen pendidikan dasar dan menengah. Padahal dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan pasal 68 dinyatakan bahwa hasil ujian nasional digunakan sebagai salah satu pertimbangan untuk dasar seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya.
Ketakutan tanpa alasan
Bersamaan aksi protes dari beberapa kalangan seputar UN, terjadi ketakutan yang berlebihan dari pihak-pihak yang berkecimpung secara langsung dalam pendidikan (Dinas pendidikan, kepala sekolah, guru, orang tua dan siswa) terhadap hasil UN. Mereka seakan takut menerima kenyataan kalau nanti banyak siswa yang tidak lulus dalam UN, sehingga mereka berupaya menolak UN yang dianggap merugikan. Ketakutan mereka disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, tradisi kelulusan 100%. Sistem ujian sekolah yang berlaku mulai tahun 1965 dan diganti dengan sistem evaluasi belajar tahap akhir nasional (Ebtanas) yang mulai diterapkan tahun 1982 seolah "meninabobokan" para pelaku pendidikan di lapangan, terutama guru dan kepala sekolah. Dengan sistem ini dimungkinkan siswa dapat lulus 100%, karena sekolah (guru dan pihak lainnya) dapat bermain-main dengan angka agar kelulusan dapat mencapai 100%. Kesan adanya "mark up" nilai sulit dihindari. Tanpa bermaksud memojokan, kesan itu mudah diketahui dari nilai yang diperoleh siswa saat mengikuti Ebtanas. Dengan nilai ebtanas murni (NEM) di bawah angka tiga banyak siswa dinyatakan lulus, karena nilai mata pelajaran lain ditinggikan, sehingga nilai rata-rata melampaui batas minimal nilai yang dipersyaratkan untuk bisa lulus ujian (misalnya rata-rata 6,00). Tradisi kelulusan 100% sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip pendidikan, karena tidak mendorong siswa untuk belajar keras dan guru untuk bekerja keras. Guru tidak tertantang oleh keadaan untuk lebih mempersiapkan diri sebelum masuk ruang kelas. Tidak ada budaya kompetisi baik bagi siswa maupun guru, sebab nantinya juga lulus 100%. Kedua, adanya budaya malu terhadap kekurangan diri sendiri. Ada kekhawatiran melalui hasil UN akan menunjukan lemahnya kinerja dan kompetensi para praktisi pendidikan di lapangan selama ini. Sehingga ada kesan bahwa selama ini ada upaya mengadakan manipulasi terhadap hasil UN, seperti yang dikatakan Ketua Masyarakat Pendidikan Riau Alfian Djoremi dimana demi memenuhi target kelulusan, akan terjadi kesepakatan para pengajar untuk membocorkan jawaban (Kompas, 22/10/2005). Kalau memang praktisi pendidikan di lapangan sudah merasa bekerja secara profesional, maka tidak akan takut dengan standar kelulusan 4,50. Ketiga, adanya kekhawatiran akan terjadinya keresahan dan gejolak sosial di masyarakat. Dengan banyaknya siswa yang tidak lulus dalam UN ada kekhawatiran dari beberapa kalangan akan terjadi gejolak sosial. Pandangan ini kurang berdasar, karena sudah saatnya masyarakat Indonesia diajarkan mau menerima kenyataan sepahit apapun. Sudah saatnya masyarakat Indonesia dididik untuk bekerja keras untuk mendapatkan hasil yang memuaskan.
UN dan mutu pendidikan
Pro kontra seputar UN tidak seharusnya terjadi kalau semua pihak saling memahami dan menempatkan UN secara proporsional. Pihak pemerintah melalui Depdiknas harus merancang sistem ujian atau penilaian yang sistematis, bertahap dan berkelanjutan. Sistem penilaian harus dapat difungsikan untuk mendeteksi potensi dan kompetensi siswa sekaligus bisa memetakan kompetensi guru dalam keberhasilan pembelajaran di kelas. Hasil UN juga harus ditindaklanjuti dengan berbagai program yang dapat meningkatkan mutu pendidikan secara komprehensif. Sistem penilaian (UN) harus mampu: memberi informasi yang akurat; mendorong siswa untuk belajar; memotivasi guru dalam pembelajaran; meningkatkan kinerja lembaga; dan meningkatkan kualitas pendidikan. Dengan sistem penilaian yang demikian diharapkan secara berangsur-angsur mutu pendidikan di tanah air akan meningkat. Di lain pihak, para praktisi pendidikan di lapangan, terutama guru dan Kepala Sekolah harus meningkatkan kompetensi dan kinerjanya, sehingga kualitas pembelajaran di kelas akan meningkat dan pada gilirannya akan meningkatkan mutu pendidikan. Dengan demikian berapapun standar kelulusan yang akan ditetapkan pemerintah akan selalu siap, tanpa ada rasa takut dan kaget. Di sisi lain pula para siswa dan orang tua juga akan tumbuh kesadaran bahwa untuk mencapai hasil yang memuaskan harus ditempuh dengan kerja keras, sehingga anggapan dalam ujian pasti lulus 100% hilang dari pikiran mereka. Kalau semua pihak sudah pada pemikiran, kesadaran, dan tindakan yang sama, maka mutu pendidikan di Indonesia perlahan-lahan namun pasti akan meningkat. Upaya peningkatan mutu pendidikan tidak bisa ditempuh dengan cara parsial tetapi harus holistik dengan melibatkan semua pihak yang terkait dalam dunia pendidikan.
Written by Kunandar (lpmpdki.web.id)