"Sudah dilakukan beberapa analisa terhadap posisi UN baik dari sisi kedudukan hukum, landasan filosofis, landasan pedagogis, juga berbagai data-data empiris tentang apa yang dilakukan negara-negara disekitar kita dan di dunia dengan mengambil data-data UNESCO, dan atase pendidikan dan kebudayaan kita di 14 negara," kata Wakil Menteri Pendidikan Nasional Fasli Jalal saat rapat dengan Komisi X DPR RI, Komite Sekolah, Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), dan perwakilan perguruan tinggi , di Hotel Nikko Jakarta, Jumat (15/10).
Berdasarkan hasil evaluasi yang telah dilakukan, baik Komisi X DPR RI, BSNP, Komite Sekolah, dan Perguruan Tinggi, menganggap UN masih perlu dilakukan, sampai ditemukan formula baru untuk mengevaluasi pembelajaran. Dalam rapat tersebut, Ketua Panitia Kerja Komisi X DPR RI Ruli Choirul Azwar melemparkan tiga opsi pelaksanaan UN kepada forum.
Opsi yang pertama, UN jalan terus,dan dianggap tidak ada masalah dalam penyelenggaraannya. Namun jika hal tersebut yang dilakukan, maka UN akan tetap menjadi kontroversi, sepanjang mutu pendidikan belum seragam, dan pelaksanaannya yang serentak itu belum menjamin adanya pengawasan yang baik dan tidak menimbulkan kecurangan.
Opsi yang kedua, UN bisa berjalan seperti sekarang, dengan syarat penyempurnaan terhadap beberapa hal yang mampu mengatasi faktor ketidakadilan akibat standar mutu pendidikan yang beragam. "Bagaimana formulanya kita cari nanti, begitu juga faktor penyelenggaraan yang menimbulkan kecurangan, akan menyempurnakan kebijakan-kebijakan UN ini," kata Ruli.
Kelemahannya, menurut Ruli, memang sulit mencari solusi atau formula yang bisa mengatasi masalah UN sebagai penentu kelulusan. Atau, bagaimana mencari model pengawasan yang efektif, apa penyelenggaraan yang bisa di ubah, atau apakah pengawasannya bisa dilakukan melibatkan unsur independen.
Opsi yang ketiga, UN dapat dilanjutkan, tetapi hanya untuk pemetaan standar mutu pendidikan. Bukan sebagai penentu kelulusan. Namun jika UN hanya dilakukan sebagai cara untuk memetakan standar mutu pendidikan, menurut Rektor Universitas Negeri Medan Syawal Gultom, hanya akan menghabiskan uang negara saja.
Karena menurutnya, tidak akan ada semangat juang siswa dan guru dalam menghadapi UN. Syawal mengatakan, saat ini semua pihak harus berjuang untuk melaksanakan UN yang kredibel, dan bukan lagi mempertanyakan UN berlawanan dengan UU atau tidak. "Tidak mungkin UN itu bertentangan dengan hakikat pendidikan, UU yang ada. Kalau ada, itu pelaksanaannya yang tidak sempurna ," kata Syawal.
Berbicara mengenai UN, sebagai representasi yang bersentuhan langsung ke pemangku kepentingan sekolah, wakil dari Komite Sekolah Bambang Sutomo mengatakan, dinamika semangat belajar meningkat signifikan. Memang baru menonjol pada kelas-kelas akhir, karena kelas akhir fokus pada menghadapi UN. "Ini hal yang positif, untuk konsentrasi proses peningkatan semangat itu, kami dihadapkan pada permintaan siswa itu sendiri untuk membentuk kelompok belajar," kata Bambang. Dampak positif yang lain dengan adanya UN adalah orang tua dituntut memberi perhatian.
Bambang akan tetap mendukung pelaksanaan UN, karena masih menjadi sarana evaluasi. "Jadi sebelum ada metode evaluasi yang lebih baik, kenapa kita harus meniadakan UN. Dan kami siap mengawal berjalannya UN," kata Bambang.
Kurikulum satuan pendidikan yang dikembangkan di Indonesia sudah sesuai dengan Undang-Undang (UU) Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19. UU tersebut memuat standar kompetensi dan kompetensi dasar. Sehingga, kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) pada dasarnya merupakan kurikulum berbasis kompetensi. Oleh karena itu, assessment/penilaian berfungsi untuk mengetahui standar kompetensi mana yang dimiliki oleh peserta didik atau yang belum dimiliki.
Ketua BSNP Djemari Mardapi mengatakan, informasi mencapai standar kompetensi diperoleh melalui pengukuran/pengujian. Pengukuran/pengujian informasi diperoleh dengan melalui tes/ujian. Ada ujian sekolah, ada UN. Sedangkan akuntabilitas sekolah bisa dilihat dari kompetensi yang dimiliki peserta didik, apa betul sekolah itu sudah melakukan fungsinya dalam melakukan proses pembelajaran. Kemudian, akuntabilitas kompetensi yang dimiliki peserta didik dalam pelajaran tertentu, pendidik juga bertanggung jawab. "Oleh karena itu perlu penilaian yang sistematis mengikuti prosedur yang baku. Kemudian assessment yang kita harapkan menggunakan aturan acuan kriteria, karena kurikulumnya berbasis kompetensi," kata Djemari.
Djemari menambahkan, standar nasional pendidikan merupakan kompetensi minimal yang harus dimiliki peserta didik. Pengujian dilakukan untuk mengetahui tingkat kompetensi peserta didik, apa betul sudah mencapai kompetensi minimal itu. Jika belum, lakukan program perbaikan. Ini prinsip dari kurikulum berbasis kompetensi.
sumber: kemdiknas.go.id
0 Komentar